Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme yang bersarang dalam dirinya. Idealisme adalah suatu kebenaran yang diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnya bila mahasiswa hanya mengutamakan kepentingan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap bangsa dan negaranya. Mahasiswa sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula sekedar rakyat biasa, dan bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat vital tersendiri di lingkungan masyarakat, namun bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Kata – kata “Berikan aku 10 pemuda, maka akan ku guncangkan dunia” yang pernah dilontarkan oleh Bung Karno, bukan hanya sekedar kalimat retoris belaka. Karena sebenarnya, dengan kemampuan, kecerdasan, dan keberanian yang dimiliki oleh pemuda atau mahasiswa dalam konteks sebagai kaum intelektual, mereka mempunyai peran besar dalam kemajuan bangsa.
Idealisme yang dimiliki oleh mahasiswa telah terbukti memberikan kontribusi besar dan menorehkan sejarah besar di negeri ini. Sebut saja masa kebangkitan nasional pada tahun 1908, masa perjuangan kemerdekaan tahun 1945, masa pergolakan kemerdekaan pada tahun 1966, dan masa reformasi yang meledak pada tahun 1998. Namun, dari masa ke masa, semangat itu semakin tergorogoti oleh sikap pragmatis dan apatis seorang mahasiswa.
Sebelum lebih jauh ke arah pembahasan itu, coba kita lihat apa sebenarnya fungsi mahasiswa yang menurut M. Hatta, pada hakikatnya merupakan insan akademis. Insan akademis memiliki dua ciri yaitu : memiliki sense of crisis, dan selalu mengembangkan dirinya.Dalam tataran ini, insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Melihat fungsi ini, seorang mahasiswa harus berfikir luas. Mengingat ruang lingkup mahasiswa adalah masyarakat, bangsa dan negara, maka seorang mahasiswa dituntut kritis dalam menanggapi berbagai aspek permasalahan di masyarakat dan negara. Namun, seringkali mahasiswa berfikir terlalu sempit tentang tugas dan fungsi yang diembannya. Sebagian besar mahasiswa cenderung bersikap apatis ketika menghadapi permasalahan – permasalahan bangsa ini.
Sikap apatis merupakan golongan mahasiswa yang kedua. Tidak jarang yang hanya dipikiran mereka hanya bagaimana cara mereka lulus sesegera mungkin dengan nilaicumlaude, tanpa berfikir untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat dan negara ini. Memang, tujuan seperti itu tidak mutlak dapat disalahkan, karena memang tujuan dan niat yang diikrarkan kepada orang tua adalah belajar, belajar, dan belajar agar mendapat nilai bagus, dan kelak menjadi orang yang sukses. Namun, kesuksesan seorang mahasiswa akan terasa semakin lengkap dan berdayaguna pada saat mereka berkontribusi nyata untuk masyarakat dan negara, bukan hanya sekedar mengejar kepentingan dan ego pribadi. Seperti hadist rosul yang kita ketahui, bahwa sebaik – baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Golongan mahasiswa ketiga adalah golongan mahasiswa pragmatis. Pragmatis adalah cara berfikir seseorang yang cenderung berfikir praktis, sempit dan instan. Mahasiswa yang mempunyai sifat pragmatis ini menginginkan segala sesuatu yang dikerjakan atau yang diharapkan ingin segera tercapai tanpa mau berfikir panjang dan tanpa melalui proses yang lama. Sehingga kadang hasilnya meleset dari tujuan awal.Sikap pragmatis yang ditunjukkan oleh mahasiswa membuat mereka mengahalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, tanpa mempertimbangkan sebenarnya yang dilakukan adalah kebenaran atau bukan.
Contoh sederhana adalah budaya titip absen, mencontek saat ujian, plagiat dalam membuat makalah hingga dalam pengerjaan skripsi atau tugas akhir. Parahnya lagi, tidak jarang sikap pragmatis itu ditunjukkan oleh mereka yang mengatasnamakan oknum aktivis organisasi mahasiswa. Tidak jarang dari mereka yang menyalahgunakan wewenang dan amanah yang mereka emban untuk mendapatkan keuntungan – keuntungan yang tidak halal. Keadaan yang tidak kalah parahnya adalah ketika kelompok “mahasiswa” tersebut rela menjajakan idealismenya untuk kepentingan-kepentingan politik praktis maupun kepada kepentingan borjuis tertentu demi keuntungan pragmatis yang hal ini tentunya memandulkan independensi mahasiswa.Tidak jarang juga, ketika keberadaan kelompok – kelompok tersebut malah justru dipergunakan sebagai alat politik para pemangku kebijakan kampus untuk tujuan dan ambisi tertentu. Jika kita menilik ke persinggungan antara masa lalu dan masa kini, sesungguhnya formulasi seperti inilah yang mewarisi jiwa ke-koruptor-an dan menelurkan para pengawal kerusakan negeri. Dalam konteks ini, kampus tidak lebih hanya sebagai pengeram embrio generasi koruptor.
Poros cakrawala bangsa bernama mahasiswa itu kini kian rapuh. Namun, sungguh tidak layak menggunakan logika generalisasi dalam memandang mereka. Masih ada segelintir mahasiswa yang masih teguh dalam mencengkeram idealismenya.Mereka sadar akan eksistensi dirinya bukan untuk mendapat kedudukan, materi, popularitas dan egomania atas kesuksesan pribadi, sehingga berusaha mencapai segala cita-cita pribadinya namun tetap kontributif bagi kebangkitan negerinya. Mereka giat mengikuti pembelajaran akademis, namun juga getol mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi, menghidupkan organisasi kemahasiswaan dengan kegiatan – kegiatan yang positif. Kesadaran bahwa lingkungan mereka bukan hanya dunia kampus, namun bumi Indonesia, sehingga peduli dengan wacana nasional yang berhubungan dengan kerakyatan namun tetap independen, tahu persis kapan harus mengkaji wacana, kapan harus melakukan brainstorming dan kapan harus turun ke jalan; tidak terkekang oleh arus deras yang cenderung dimanipulasi oleh anasir kepentingan pragmatis dan dipenuhi kendali konspirasi, namun justru menentukan arah arus dan merekayasanya demi perubahan ke arah kebaikan. Sayangnya, mahasiswa model ini sudah sangat langka di hamparan Indonesia.
Mahasiswa adalah penggerak roda pergerakan dan perubahan kemajuan bangsa. Di pundak mereka terpancang harapan yang begitu besar untuk negeri ini. Namun sayangnya, “sang singa” itu kini masih tertidur lelap ketika instabilitas di segala aspek melanda negeri ini. Bagaimana rakyat dapat membangun negeri ini, jika “energi pembangun negeri ini” masih tertidur. Kini sudah saatnya merevitalisasi peran mahasiswa sebagai garda terdepan yang peduli terhadap stagnasi dan degradasi, yaitu dengan membangkitkan semangat dan gairah berkontribusi bagi bangsa dan negara.